Jadwal Shalat

Kamis, 19 Juni 2014

TEMPAT YANG DI CINTAI OLEH ALLAH DALAM MUKA BUMI
Dalam sebuah kitab karangan Imam Al Ghozali " Ihyaulumudin" terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi 'utbah Rasulallah bersabda " Ingatlah Sesungguhnya Allah menempatkan beberapa tempat dimuka bumi ini yaitu Hati, maka tempat "Hati" yang dicintai oleh Allah adalah hati yang jernih ( Bersih), hati yang kokoh dan hati yang lembut. Maksud Hati yang jernih adalah hati yang jernih (bersih) dari Dosa, hati yang Kokoh adalah hati yang kokoh dalam agama dan hati yang lembut adalah hati yang lembut terhadap saudaranya"

Senin, 17 September 2012

Wasiat Rohaniah
Beberapa Wasiat Allah yang dituturkan melalui beberapa hadits Qudsi dengan periwayatan yang sahih, yang di riwayatkan Rasulullah SAW :
  1. "Wahai Hamba-hamba Ku!Sesungguhnya Aku (Allah) telah mengharamkan kezaliman kepada Diri-Ku, dan Aku menjadikannya haram diantara kamu sekalian, maka janganlah kamu sekalian zalim"
  2. " Wahai hamba-hamba-Ku ! kamu sekalian adalah tersesat, kecuali orang-orang yang Aku tunjukan, maka mohon petunjuklah kamu sekalian kepada-Ku, niscaya Aku akan menunjukan kepadamu sekalian"
Dari dua hadits Di atas, Sesungguhnya Allah Maha Penerima segala Permintaan kita, tapi entah kapan Allah mengabulkan permintaan kita, karena Allah Maha Tahu mana yang terbaik buat kita, maka teruslah memohon apapun kepada Allah..........

Selasa, 21 Februari 2012

Rasulullah Sebagai Teladan Yang Mulia Bagi seorang Guru

Marilah Kita bercermin kepada sosok agung dan mulia, Rasulullah saw. Beliau adalah figur yang paling sukses dalam mendidik Manusia. Bukan Hanya berhasil mengubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, namun beliau bahkan membuat manusia keluar dari masa kegelapan menuju peradaban yang cermerlang. Rasulullah melandasi setiap gerak langkahnya dengan " cinta". Keberhasilan Rasullullah dalam memengaruhi umat manusia ini diakui oleh semua orang, baik orang islam maupun non Islam. Pesona cinta yang ditebarkan Rasulullah saw dalam dakwanya mampu membuat suku demi suku bangsa demi bangsa berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Cinta adalah sikap batin yang akan melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakal. inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Karakter dunia dakwa dan pendidikan adalah sama, keduanya bertujuan untuk mempengaruhi, membimbing, dan mengarahkan umat manusia. Dengan demikian sangatlah tepat apabila seorang guru menjadikan Rasulullah teladan dakwa dan pendidikan. Seluruh ilmu dan kebajikan yang beliau sampaikan adalah "pelajaran", tahapan-tahapan dakwa yang beliau sampaikan adalah " kurikulum", cara penyampaian  ajaran beliau adalah "metode pembelajaran". Dengan demikian para pendidik muslim wajib menggali pola dan metode yang telah beliau jalankan. (Disadur dari Buku Spiritual Teaching).

Senin, 30 Mei 2011

Problematika Hisab Rukyah di Indonesia

Problematika Hisab Rukyah di Indonesia
Disampaikan pada Pendidikan Keterampilan Khusus Bidang Hisab-Rukyat Tahun Anggaran 2007 “ Lestarikan Tradisi Ulama Salaf Kembangkan Keterampilan Hisab Rukyat” Direktorat Pendidikan Diniyah Dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI.

Oleh Ahmad Izzuddin, M.Ag
(Dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang dan Koord Biro Diklat Lajnah Falakiyah PBNU)


Pada dasarnya persoalan hisab rukyah tidak hanya persoalan penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah) (Di antara kedua belas bulan hijriyah yang paling mendapat perhatian umat Islam adalah bulan Ramadan, Syawal dan Dulhijjah, sebab di dalamnya terdapat kewajiban berpuasa dan haji atas umat Islam. Lihat Q.S. Al-Baqarah : 185 dan 197. Penetapan awal bulan hijriyah selain ketiga bulan tersebut dapat dipakai hisab karena dalam hal ini tidak diperlukan “isbat al-Qadli”. Penetapan bulan ini semata-mata untuk perhitungan waktu tidak benar-benar untuk kepentingan ibadah. Baca Imam Abu Al-Hayyan, Al-Bahr al-Muhith, Kairo : Beirut, jilid II, h. 62. ) . Namun karena persoalan penentuan awal bulan Qamariyah ini lebih mempunyai greget – lebih berpotensi menimbulkan perbedaan - maka wajar jika ia lebih mendapatkan perhatian dan lebih dikenal sebagai persoalan hisab rukyah dari pada persoalan lainnya. Berpijak pada alur logika tersebut agar tidak melebar maka penulis mengfokuskan pada pemikiran (hisab rukyah) penentuan awal bulan Qamariyah (dalam hal ini awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah).

Muara perbedaan pemikiran hisab rukyah di Indonesia pada dasarnya tidak berbeda dengan muara perbedaan pemikiran para fuqaha (terdahulu) yakni pada perbedaan pemahaman hadis-hadis hisab rukyah. (Memang banyak hadis-hadis hisab rukyah yang secara redaksional berbeda-beda tetapi secara esensial tidak jauh berbeda, di antaranya redaksinya: “Shumu lirukyatihi wa afthiru lirukyatihi fa in ghumma faqduru lahu” Baca Abu Husen Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo, t.th, h. 481 .)
Hanya saja dalam wacana pemikiran hisab rukyah di Indonesia, ragam pemikirannya lebih majemuk dibanding ragam pemikiran dalam wacana hisab rukyah pada kalangan para fuqaha (terdahulu). Hal ini karena sentuhan Islam sebagai “great tradition” dan budaya lokal atau little tradition yang sering menimbulkan corak budaya tersendiri yang di luar dugaan. Dalam konteks ini disebut sebagai paham keislaman yang bersifat lokal, seperti Islam Jawa – atau dalam bahasa Geertz disebut “Religion of Java” (Mengenai pemikiran Islam Jawa dapat dibaca dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta : Pustaka Jaya, 1981)

Islam jawa ternyata berkembang dan mempunyai praktek-praktek keagamaan yang khas dan berbeda dengan mainstream Islam pada umumnya. Fenomena semacam inilah yang sering melahirkan pemikiran tersendiri, dalam pemikiran hisab rukyah seperti pemikiran hisab rukyah “Aboge” atau “Asapon”.
Mazhab Hisab Rukyah di Indonesia

Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya adalah sejarah aliran – mazhab - firqah (Lihat Ali A. Wahdi Wafi, Perkembangan Mazhab dalam Islam, Jakarta : Minaret, 1987, h. 50.). Sejarah fiqh Hisab Rukyah (termasuk penetapan awal bulan Qamariyah) juga tidak lepas dari persoalan aliran atau mazhab. Dalam wacana pemikiran Islam, aliran pemikiran itu biasanya disebut mazhab. Kata mazhab biasanya digunakan dalam term fiqh yakni suatu cabang ilmu keislaman yang mempelajari tentang hukum-hukum agama (meminjam istilah Nurcholis Madjid: jurisprudensi hukum). Memang jika kita tilik dalam kamus fiqh, istilah itu terkesan hanya terfokus pada istilah empat mazhab yang ada dalam sejarah Islam. Namun kalau kita berpijak pada pemikiran Islam secara umum sebagaimana dalam buku The Concise Encyclopedia of Islam, istilah itu diartikan sebagai sistem berfikir _a system of thought_ Dalam buku A Populer Dictonary of Islam, Ian Rechard Newton memberikan tafsiran sebagai kelompok pemikir atau kelompok penulis yang berkecimpung dalam hukum (school of law)( Ini sebagaimana dilakukan oleh para sarjana di Jerman pada tahun 1923 mendirikan mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) oleh Felix Weil yang anggotanya kebanyakan berfanatik Marsixme. Begitu para parak intelektual Ciputat sebagai basis liberalisasi pemikiran Islam memilih urgensi mazhab untuk melegitimasi arus pemikirannya yang berkembang dari sarang kampus IAIN yakni mazhab Ciputat yang lahir dari sosok Nurcholis Madjid, baca Edy A. Effendy (ed.), Dekontruksi Islam Mazhab Ciputat, Jakarta : Zaman Wacana Mulia, cet. I. 1999, h. 1-6.) Sehingga dalam pilahan pemikiran dalam fiqh hisab rukyah ini, penulis dalam kerangka makro memilah dalam mazhab-mazhab(Sebagaimana dikemukakan Zalbawi Suyuti dalam makalahnya dalam buku Tehnologi Rukyah oleh ICMI Jakarta, Januari 1994. ). 

Pemikiran-pemikiran hisab rukyah di Indonesia tersebut di antaranya :

1. Pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional ala Islam Jawa
Pemikiran ini sering disebut dengan pemikiran “Aboge” atau “Asapon” yakni cara penentuan awal Ramadan, Syawal dan Dulhijjah dengan bersandarkan pada perhitungan tahun Jawa lama (khuruf Aboge atau khuruf Asapon) dan rukyatul hilal (observasi dengan mata telanjang saat tenggelamnya matahari). (Menurut hasil penelitian Andy Ahmad Zaelany, bahwa penentuan hari raya lebaran secara tradisional ala Islam Jawa sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa. Hampir semua masyarakat Jawa mengenalnya – atau paling tidak mendegarnya – sebagaimana yang dipraktekkan oleh pendudukan yang tinggal di dusun Golak, terletak di desa Genteng Kecamatan Ambarawa Semarang, Jawa Tengah. Hasil penelitian ini dapat dilihat dalam Andy Ahmad Zaelany, Menentukan Hari Lebaran Ala Islam Jawa Kasus Dusun Golak, Ambahrawa, pada Journal Ulumul Qur’an, no, Vol. VI, tahun 1996, h. 62-70.)

Dalam pemikiran “Aboge” ada beberapa prinsip utama, yakni:
Pertama, prinsip penentuan tanggal selain berdasarkan kalender Hindu-Muslim-Jawa, adalah “dina niku tukule enjing lan ditanggal dalu” (hari itu lahirnya pagi dan diberi tanggal malam harinya). (Sebagaimana dikatakan umat Islam di dusun Golak ketika ditanya tentang prinsip menentukan hari lebaran. Seperti ketika versi pemerintah, suatu pagi ditentukan tanggal 1 Ramadan, maka bagi mereka tanggal 1 Ramadan baru jatuh pada hari berikut (yakni tgl 2 Ramadan versi pemerintah), ibid.
Kedua, bahwa jumlah hari dari bulan puasa menurut cara perhitungan “Aboge” selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan hari Falak (versi pemerintah). Adapun istilah “Aboge” dapat dirinci bahwa “a” berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; “bo” mengacu pada rebo (hari Rabu); dan “ge” berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai pada hari Rabu Wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus “waljiro”. “Wal” adalah bulan Syawal, “ji” berarti tanggal siji (satu), dan “ro” adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu Ehe, dan tanggal 1 Sura pada hari Ngahad Pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari Ngahad Wage. (Clifford Geertz, Op. Cit., h. 510. Dan bandingkan juga dengan Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang : Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1978, h. 7-10)
Ketiga, penentuan awal bulan puasa dan awal bulan Syawal digunakan istilah ”pletek” yang berarti terbukti atau semua masyarakat telah melihat bulan dengan mata telanjang, sebagaimana dasar dari hadis-hadis hisab rukyah. (Istilah “pletek” di sini dapat dikaitkan dengan prinsip yang pertama, yaitu bahwa tanggal dihitung mulai maghrib hari itu. Menurutnya hilal itu sangat sulit dilihat dengan mata telanjang ; hilal baru akan terlihat agak jelas pada tanggal dua Ramadan. Karena itu tidaklah mengherankan bila pendudukan dusun yang mengikuti mazhab ini baru mulai puasa sehari setelah hari puasa nasional dimulai dan ini berakibat pula hari lebaran akan jatuh sesudah hari lebaran nasional. Semisal hari lebaran nasional jatuh pada hari Kamis, sekitar pukul 18.00 yang ditandai dengan takbiran dan sesajen. Adapun shalat Ied diselenggarakan keesokan harinya, yakni Jum’at pagi. Perbedaan ini bisa menjadi dua hari bila bulan Ramadan hanya 29 hari. Hal ini disebabkan dalam kalender Hijriyyah-Jawa bulan puasa selalu berjumlah 30 hari. Lihat Andy Ahmad Zaelany, Op. Cit., h. 67)
SEHINGGA WAJAR JIKA PENGIKUT PEMIKIRAN INI, MEMULAI PUASA ATAU LEBARAN SELALU SETELAH SATU HARI DARI PENETAPAN PEMERINTAH. SEBAGAIMANA HASIL PENELITIAN ANDY AHMAD ZAELANY, BAHWA PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “MAZHAB” TRADISIONAL ALA ISLAM JAWA SELAMA INI SEBAGAIMANA YANG DIPRAKTEKKAN DI MASYARAKAT DUSUN GOLAK DESA GENTENG KECAMATAN AMBARAWA SEMARANG JAWA TENGAH.
Namun jika ditilik dari perjalanan historis pemikiran hisab rukyah “mazhab” Tradisional ala Islam Jawa, ternyata berasal dari pemikiran hisab rukyah (kalender) Saka (Saka secara bahasa (Jawa) berarti perbuatan, berasal dari kata Sansekerta Syaka yang berarti bangsa seyth. Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno (Kawi) : Soko atau sakabda yang berarti tahun saka (mulai tahun 76 M oleh Sahwaha) yakni perhitungan menurut perjalanan matahari, atau dalam arti tahun Hindu yang dimulai bertahtanya Adji Saka. Lihat C. C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S. Gunawan, Jakarta : Bratara Karya Aksara, 1985, h. 93, bandingkan L. Wardiwarsito, Kamus Jawa Kuno (Kawi) – Indonesia, Jakarta : Nusa Indah, 1978, h. 330, bandingkan juga S. Prawiro Atmojoyo, Bausastra Jawa – Indonesia, jilid II, Jakarta : Masagung, 1980, h. 158 – 159) YANG DIPERBAHARUI OLEH SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO (SRI SULTAN MUHAMMAD SULTAN AGUNG PRABU HANYOKROKUSUMO ADALAH RAJA PADA KERAJAAN MATARAM II PADA TAHUN 1613 – 1645 M, LIHAT MUI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, KALENDER ISLAM SULTAN AGUNG ADALAH KALENDER NASIONAL, YOGYAKARTA : OFFSET, 1987, H. 12) YAKNI DISESUAIKAN DENGAN PERHITUNGAN LUNAR (QAMARIYAH) TIDAK LAGI MENGGUNAKAN SISTEM PERHITUNGAN SOLAR (SYAMSIYYAH). PERALIHAN TERSEBUT TERJADI PADA TANGGAL 1 SURA TAHUN ALIP 1555 (TAHUN JAWA) YANG BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 8 JULI 1633 M YAKNI HARI JUM’AT LEGI.( KARTONO KAMAJAYA PARTOKUSUMO, KEBUDAYAAN JAWA PERPADUANNYA DENGAN ISLAM, YOGYAKARTA : ADITYA MEDIA, 1995, H. 200.)
DARI TAHUN 1633 M SAMPAI SEKARANG, KALENDER INI SUDAH TIGA KALI MENGALAMI PENYESUAIAN KALENDER, SEHINGGA SAMPAI SEKARANG SUDAH MENGALAMI PERUBAHAN EMPAT KALI DASAR PERMULAAN AWAL TAHUN YAKNI MULAI DENGAN PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “AJUMGI” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI JUM’AT LEGI), KEMUDIAN “AKAWON” (TAHUN ALIP MULIA PADA HARI KAMIS KLIWON), KEMUDIAN “ABOGE” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI REBU WAGE), KEMUDIAN “ASAPON” (TAHUN ALIP MULAI PADA HARI SELASA PON).( MENGENAI PRINSIP PERHITUNGAN KALENDER JAWA BAIK PEMIKIRAN “AJUMGI”, AKAWON”, “ABOGE” DAN “ASAPON” PADA DASARNYA SAMA HANYA BERBEDA DALAM PENENTUAN AWAL TAHUN ALIPNYA. SEDANGKAN LACAKAN SEJARAH PERUBAHAN INI SEBAGAIMANA PENULIS TEMUKAN DALAM SLAMET HAMBALI, LOC. CIT. NAMUN UNTUK ISTILAH “AJUMGI” DAN “AKAWON” ADALAH HANYA MERUPAKAN KREASI PENULIS DALAM RANGKA UNTUK MEMPERMUDAH DENGAN CARA BERPEDOMAN PADA ISTILAH YANG SELAMA INI SUDAH BAKU YAKNI “ABOGE” DAN “ASAPON”. KARENA PENULIS TIDAK MENEMUKAN ISTILAH UNTUK DUA PEDOMAN TERSEBUT.) METODE YANG TERAKHIR INILAH (PEMIKIRAN “ASAPON”) YANG SAMPAI SEKARANG INI DIPEGANGI OLEH MAYORITAS UMAT ISLAM JAWA (KEJAWEN) TERUTAMA DI KALANGAN LINGKUNGAN KRATON YOGYAKARTA.( TJOKORDA RAI SUDHARTA, I GUSTI OKA HERMAWAN, W. WINDA WINABAN, KALENDER 301 TAHUN, JAKARTA : BALAI PUSTAKA, 1984, H.22.)
Melihat realita tersebut, nampak bahwa sampai saat ini ternyata tidak hanya pemikiran “Aboge” saja yang hidup di masyarakat sebagaimana dikatakan Andy Ahmad Zaelany dalam penelitiannya di dusun Golak desa Genteng, Ambarawa. Namun pemikiran “Asapon” yang nota bene pemikiran hisab rukyah “Mazhab” Tradisional yang terbaru juga hidup di masyarakat. Malahan menurut perhitungan kalender Jawa, pemikiran “Aboge” sudah harus diganti dengan pemikiran “Asapon”,( Mengenai alasan mengapa harus terjadi perubahan (penyesuaian) kalender dalam kalender Jawa dan mengenai perhitungan penentuan kalender Jawa. Dapat dilihat dalam Slamet Hambali, Loc. Cit. Dan bandingkan juga dalam H. G. Den Hollander, Beknopt Leerboekje der Cosmografie, Terj. I Made sugita, Jakarta : J. B. Wolters Groningen, 1951, h. 81-83.)
tapi dalam dataran realitas ternyata pemikiran “Aboge” masih berlaku juga di kalangan umat Islam Jawa sebagaimana tersebut di atas. Berangkat dari pemikiran tersebut penulis berasumsi bahwa tidak menutup kemungkinan pemikiran-pemikiran yang lain yakni “Akawon” dan “Ajumgi” juga masih berlaku di masyarakat Jawa (Kejawen), hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan jejak pemberlakuanya di masyarakat.

2. Pemikiran hisab rukyah “mazhab” Rukyah
Dalam wacana hisab rukyah di Indonesia, “mazhab” rukyah ini selalu diidentikkan dengan pemikiran hisab rukyah Nahdlatul Ulama. Namun pengidentikkan ini kiranya tidak dapat diterima seratus persen kebenarannya. Karena pada dasarnya dalam “mazhab rukyah” terdapat beberapa “mazhab-mazhab” kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan yang prinsipil, dan Nahdlatul Ulama sendiri termasuk salah satu dari “mazhab” kecil tersebut. “mazhab-mazhab” kecil tersebut muncul karena adanya perbedaan pemahaman term rukyah. Di antaranya dalam hal :

a. Dalam pemahaman mathla’(Secara definitif kontekstual mathla’ berarti batas geografis keberlakuan rukyah).
Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadis-hadis hisab rukyah khithabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pemikiran inilah yang terkenal dengan “Rukyah Internasional” yang dipegang oleh Komisi Penyatuan Kalender Hijriyyah Internasional, di mana dalam konteks ke-Indonesia-an adalah kelompok Hizbut Tahrir(Jika dilihat tapak tilas sejarah menurut hemat penulis Hizbut Tahrir adalah Jama’atul Muslimin Hizbullah yang mengkampanyekan daulah islamiyyah, lihat Wali al-Fatah, Khilafah Ala Minhajin Nubuwah , Jakarta : Al-Jama’ah, 1990, h. 83).
. Hizbut Tahrir di Indonesia, sejauh pengamatan penulis ternyata mempunyai beberapa lembaga dakwah yang hidup di masyarakat seperti : Lembaga Dakwah al-Misykah di Semarang, Lembaga Dakwah al-Ihtikam di Surabaya, dan Inqiyad di Jawa Barat. Selama ini, mereka sering kali mengkampanyekan pemikirannya dalam beberapa forum diskusi panel.( Hizbut Tahrir memang akhir-akhir ini sering kali mengadakan diskusi panel menghadapi Ramadan dengan tema “Kesatuan Awal dan Akhir Ramadan Menuju Kesatuan Ummat”, sebagaimana yang pernah penulis ikuti di Semarang yang diselenggarakan oleh lembaga dakwah al-Misykah, November 2000)
Di samping itu, ada pula yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan hakim yang mengisbatkan hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan “Rukyah fi wilayatil hukmi” sebagaimana pemikiran yang selama ini dipegangi oleh Nahdlatul Ulama secara institusi.( Mengenai konsideran putusan PBNU mengenai Hisab Rukyah lihat buku pedoman hisab rukyah NU.) PENULIS MEMBERI QAYYID NAHDLATUL ULAMA SECARA INSTITUSI ATAU STRUKTURAL, KARENA DALAM NAHDLATUL ULAMA SECARA KULTURAL TERDAPAT PEMIKIRAN YANG BERAGAM YANG DEMOKRATIS.( SISI DEMOKRATISNYA NAMPAK DARI ADANYA KEBEBASAN WARGA NU DALAM MEMEGANG PEMIKIRAN HISAB RUKYAH, SEBAGAIMANA DALAM BANYAK PESANTREN YANG NOTA BENE BASIC NAHDLATUL ULAMA MALAHAN BANYAK YANG MEMEGANG PEMIKIRAN HISAB MURNI, SEPERTI PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO MOJO KEDIRI. DI SAMPING MEMANG NU SENDIRI MEMANG MEMBERI KEBEBASAN BERPIKIR DALAM HAL INI, NAMUN SELAGI TIDAK DIFATWAKAN KEPADA MASYARAKAT AWAM, LIHAT ABDUL AZIZ MASYHURI, MASALAH KEAGAMAAN NAHDLATUL ULAMA (HASIL MUKTAMAR DAN MUNAS ULAMA KE- 1 TH 1926 SAMPAI DENGAN KE- 29 TAHUN 1994), SURABAYA : PP RMI BEKERJA SAMA DENGAN DINAMIKA PRES, 1997, H. 301.) SELAIN ITU, JUGA ADA PENDAPAT YANG HANYA MEMBERLAKUKAN RUKYAH SEBATAS PADA DAERAH YANG DIANGGAP MEMANG MEMUNGKINKAN ADANYA RUKYAH. DALAM KONTEKS KE-INDONESIA-AN, PEMIKIRAN INI KIRANYA TIDAK BERKEMBANG, DAN KALAUPUN ADA MUNGKIN HANYA PERSEORANGAN SAJA.

b. DALAM PEMAHAMAN “KEADILAN” DALAM PERSAKSIAN RUKYAH.
Dalam hal ini, semestinya tidak murni permasalahan rukyah, namun sangat terkait dengan permasalahan hisab. Karena penilaian bahwa seseorang “adil” dalam hal melihat hilal, orang menilainya sangat terkaitan dengan perhitungan hisab di mana hilal itu dilihat. Permasalahan ini sebagaimana dicontohkan Taufik : dalam kasus 1 Syawal 1412, 1413, dan 1414 H merupakan contoh kasus tidak dapat diterimanya laporan rukyah karena masih di bawah ufuk. Kemudian tahun 1418 H juga terulang lagi, hanya saja terdapat perbedaan yakni untuk 1418 H pada waktu itu semua sistem sepakat bahwa pada saat matahari terbenam tanggal 28 Januari 1998 hilal awal Syawal sudah wujud (di atas ufuk 0 -1,5 derajat), tetapi belum imkanurrukyah. Berkaitan dengan itu, Muker hisab rukyah tahun 1996/1997 dan 1998 belum dapat memutuskan awal Syawal 1418 berdasarkan perhitungan yang ada, dan pada akhir Ramadan tersebut memang ada laporan rukyah dari Bawean dan Cakung, tetapi ditolak oleh Menteri Agama setelah memperhatikan pandangan sebagian besar peserta sidang isbat. Dalam sidang tersebut, di antara ormas Islam hanya Muhammadiyah yang meminta supaya laporan kesaksian tersebut diterima, dan yang lain menolak dengan alasan belum imkanurrukyah.( Taufik, Loc. Cit. Mengenai keputusan Menteri Agama tentang penetapan 1 Syawal 1412, 1413, 1414, 1418 dapat dilihat dalam Depag, Himpunan Keputusan Menteri Agama tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal tahun 1381 –1418 h / 1962-1997 M.)
Melihat fenomena tersebut, penulis beranggapan bahwa kasus 1418/1998 merupakan proses penetapan yang sarat dengan muatan politis. Sebagaimana diakui sendiri oleh Basith Wahid bahwa pada dasarnya selama orde baru, Muhammadiyah selalu paralel dengan pemerintah (Sebagaimana dikemukakan oleh Basith Wahid dalam makalahnya dalam buku Rukyah dengan Tehnologi).
, namun karena waktu itu pemerintah baru bermasalah dengan Amin Rais (saat itu sebagai Ketua Umum Muhammadiyah), maka dalam penentuan awal Ramadan waktu itu pemerintah berusaha untuk merangkul Nahdlatul Ulama. Walaupun pada waktu itu Menteri Agama (dr. Tarmidzi Tahir) tidak dari unsur NU, ia berpedoman istikmal (rukyah dinyatakan tidak berhasil), walaupun ada yang melaporkan adanya keberhasilan rukyatul hilal. Sehingga waktu itu Pemerintah berbeda dengan Muhammadiyah, namun bersamaan dengan Nahdlatul Ulama. Dari fenomena tersebut penulis berkesimpulan bahwa penentuan awal Ramadan waktu itu sarat muatan politik. (Baca artikel Ahmad Izzuddin, Awal Akhir Ramadan yang Kompromistis, Suara Merdeka, 1 Desember 1999, h. 4.)
Berangkat dari permasalahan “mazhab-mazhab” kecil rukyah di Indonesia tersebut, menurut hemat penulis pada dasarnya merupakan jelmaan dari ragam pemikiran “mazhab” rukyah pada kalangan fuqaha (terdahulu) (Mengenai ragam pemikiran “Mazhab” rukyah pada kalangan fuqaha dapat dilihat tuntas dalam Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, jilid III, Kairo : Baerut, t.th., h. 382, dan bandingkan juga Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani, jilid III, Kairo : Beirut, t. th., h. 332.)

3. PEMIKIRAN HISAB RUKYAH “MAZHAB” HISAB
Sebagaimana dalam pemikiran “mazhab” rukyah, dalam “mazhab” hisabpun terdapat ragam pemikiran “mazhab-mazhab” kecil sebagai dampak dari adanya perbedaan sistem yang dipakai atau yang dipegangi. Di Indonesia sistem hisab yang berkembang pada dasarnya banyak sekali, hanya saja jika ditilik dari dasar pijakannya terbagi dalam dua macam yakni hisab urfi (Hisab urfi adalah sistem hisab penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan pada waktu rata-rata peredaran bulan, lihat Taufik, Loc. Cit., bandingkan dengan Muhammad Nur, Pedoman Perhitungan awal Bulan Qamariyah, Jakarta : depag RI, 1983, h. 7.)
dan hisab hakiki (Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, Ibid. Sedangkan mengenai istilah hisab hakiki dan pengelompokannya dalam hisab hakiki taqribi, hakiki tahkiki dan hakiki kontemporer adalah merujuk pada hasil seminar sehari Hisab Rukyah pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor. Walaupun pada dasarnya embrio pemilahan itu sudah ada sejak dulu zaman KH Manshur dalam kitab Sullamun Nayyirain dan KH Zubaer Umar Al-Jaelany (mantan Rektor IAIN Walisongo) dalam kitab Al-Khulashatul Wafiyah..
Hisab urfi dalam konteks ke-Indonesia-an sebagaimana dalam pemikiran hisab rukyah “mazhab” tradisional ala Islam Jawa yang terekam dalam sistem “Aboge” dan sistem ”Asapon”. Sedangkan mengenai hisab hakiki dapat dipilah pada pendirian yang mendasarkan pada ijtima’ yakni sistem yang berpendapat bahwa hakekat bulan Qamariyah itu dimulai sejak terjadinya ijtima’. Dalam kalangan pemikir hisab terkenal dengan istilah “Ijtima’un Nayyirain Isbatun Bainasy-syahrain”, yang sesuai dengan ketentuan astronomi bahwa konjungsi merupakan batas antar dua lunar months. Oleh karena ijtima itu hanya terjadi sekali dalam sebulan dan tidak ada hubungannya dengan tempat-tempat di muka bumi, maka saat ijtima dialami secara berlainan menurut perhitungan waktu setempat. Ijtima bisa terjadi pada pagi hari pada suatu tempat, yang dalam waktu bersamaan saat itu sedang siang hari atau malam hari di tempat lain. Oleh karena itu dalam prakteknya awal bulan Qamariyah ditetapkan berdasarkan ijtima yang terjadi sebelum matahari terbenam atau sebelum tengah malam, atau sebelum terbit fajar, sesuai dengan perbedaan pandangan tentang kapan dimulainya hari.( Taufik, Op. cit, h. 5.)
Inilah sistem yang dipakai oleh Muhammad Manshur dalam karya monumentalnya “Sullamun Nayyirain”. Di mana sampai sekarang mengkristal dalam “mazhab” kecil yakni mazhab (kalender) Manshuriyyah, yang banyak dikiblat oleh kalangan hasib-hasib Jawa Timur. (“Mazhab” kecil Manshuriyyah adalah aliran hisab yang tidak begitu besar dan tidak begitu banyak pengikutnya, bahkan markas Manshuriyyah sendiri terkesan sudah pudar, ini nampak adanya sudah pudarnya Pondok Pesantren yang dulu merupakan pusat hisab Sullamun Nayyirain. Namun sampai sekarang masih sering kali diperhitungkan dalam putusan sidang ithbat yang diselenggarakan oleh pemerintah, ini terbukti masukl dalam berita acara sidang itsbat.)
Sistem hisab yang mendasarkan pada posisi hilal, yakni penentuan awal bulan Qamariyah tidak hanya didasarkan pada ijtima’ melainkan harus diperhatikan posisi hilal di atas ufuk saat terbenam setelah terjadinya ijtima’ (Taufik, Loc. Cit).

Dalam sistem ini terbagi menjadi tiga yakni :

1. Sistem yang berpedoman pada ufuk hakiki yakni ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenith. Prinsip utama dalam sistem ini adalah sudah masuk bulan baru, bila hasil hisab menyatakan hilal sudah di atas ufuk hakiki (positif) walaupun tidak imkanurrukyah. Sehingga sistem ini dikenal dengan sistem hisab wujudul hilal sebagaimana prinsip yang dipegang Muhammadiyah secara institusi. (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih Muhamadiyyah, cet. III, t.th., h. 291-292. Bandingkan Oman Fathurrahman, Penentuan Awal Ramadan dan Syawal 1418/1998 yang disampaikan dalam acara lokakarya imsakiyyah PPM IAIN Walisongo Semarang, 20 November 1997) 

2. Sistem yang berpedoman pada ufuk mar’i yakni ufuk hakiki dengan mempertimbangkan refraksi (bias cahaya) dan tinggi tempat observasi, sebagaimana pendapat yang dipegang “mazhab” kecil (kalender) Menara Kudus.( Pendapat ini dipegang oleh ulama karismatik (almarhum) KH Turaihan Kudus yang begitu disegani dan banyak pengikutnya, baca Slamet Hambali, Penentuan 1 Syawal 1414 H/1994, dalam Al-Ahkam, no.10, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1993.)

3. Sistem yang berpedoman pada imkanurrukyah dalam posisi hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki atau mar’i, maka awal bulan Qamariyah masih tetap belum dapat ditetapkan, kecuali apabila hilal sudah mencapai posisi yang dinyatakan dapat dilihat.( Taufik, Op. cit., h. 5-6).
MENGENAI SISTEM IMKANURRUKYAH, PADA BULAN MARET 1998 PARA ULAMA AHLI HISAB DAN RUKYAH DAN PARA PERWAKILAN ORGANISASI MASYARAKAT ISLAM MENGADAKAN MUSYAWARAH KRITERIA IMKANURRUKYAH UNTUK INDONESIA. DI MANA KEPUTUSAN MUSYAWARAHNYA BARU DIHASILKAN PADA TANGGAL 28 SEPTEMBER 1998. KEPUTUSANNYA ADALAH :

  1. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH DIDASARKAN PADA SISTEM HISAB HAKIKI    TAHKIKI DAN ATAU RUKYAH .
  2. PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH YANG TERKAIT DENGAN PELAKSANAAN IBADAH MAHDHAH YAITU AWAL RAMADAN, SYAWAL DAN AWAL DULHIJJAH DITETAPKAN DENGAN MEMPERHITUNGKAN HISAB HAKIKI TAHKIKI DAN RUKYAH.
  3. KESAKSIAN RUKYAH DAPAT DITERIMA APABILA KETINGGIAN HILAL 2 DERAJAT DAN JARAK IJTIMA KE GHURUB MATAHARI MINIMAL 8 JAM.
  4. KESAKSIAN RUKYAH HILAL DAPAT DITERIMA APABILA KETINGGIAN HILAL KURANG DARI DUA DERAJAT MAKA AWAL BULAN DITETAPKAN BERDASARKAN ISTIKMAL.
  5. APABILA KETINGGIAN HILAL 2 DERAJAT ATAU LEBIH, AWAL BULAN DAPAT DITETAPKAN.
  6. KRITERIA IMKANURRUKYAH TERSEBUT DI ATAS AKAN DILAKUKAN PENELITIAN LEBIH LANJUT.
  7. MENGHIMBAU KEPADA SELURUH PIMPINAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN ISLAM MENSOSIALISASIKAN KEPUTUSAN INI.
  8. Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli ( Hasil musyawarah ulama, ahli hisab dan rukyah dan ormas Islam tentang kriteria imkanurrukyah yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 Maret 1998 / 25-27 Dulqa’dah 1418 di hotel USSU , Cisarua Bogor.)

Lahirnya sistem imkanurrukyah di Indonesia itu, penulis menduga karena terilhami adanya batas imkanurrukyah 2 derajat yang lebih awal diputuskan oleh komite Penyelarasan Rukyah dan Taqwim Islam MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura) (Komite ini lahir berawal dari pertemuan tahunan tidak resmi Menteri-Menteri Agama negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura sejak 1991).

FENOMENA YANG UNIK
Mazhab Imkanurrukyah ini merupakan mazhab tawaran Pemerintah dalam rangka menyatukan perbedaan pemikiran dalam hisab rukyah di Indonesia (dalam hal ini penetapan awal bulan Ramadan, Syawal Dulhijjah). Di mana dengan tawaran kekuasaan isbat diserahkan penuh kepada Pemerintah atas dasar Hukmul Hakim Ilzamun Wa Yarfaul khilaf, dengan harapan dapat tercapai kesatuan beribadah.
Namun dalam dataran realitasnya terdapat fenomena yang menarik -- sebagaimana disampaikan oleh Taufik -- bahwa walau sudah disepakati adanya batasan minimal imkanur rukyah, namun ternyata belum disepakati tentang boleh dan tidaknya penetapan awal bulan dengan berdasarkan pada imkanur rukyah. Di mana Nahdlatul Ulama masih “belum membolehkannya”, sementara Muhammadiyah juga masih berpegang pada hisab wujudul hilal. Walaupun dalam muker 1999/2000, baik Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah menyatakan akan membahas masalah kriteria imkanurrukyah tersebut pada muktamarnya masing-masing(Taufik, Loc. Cit ), NAMUN SAMPAI SEKARANG JUGA MASIH BERPEGANG PADA PRINSIPNYA MASING-MASING. SEHINGGA SEKARANG SISTEM IMKANUR RUKYAH INI TERKESAN SEBAGAI MAZHAB TERSENDIRI YAKNI “MAZHAB” PEMERINTAH (SEBAGAIMANA SERING DISINGGUNG OLEH SLAMET HAMBALI DALAM SETIAP TULISANNYA TENTANG ADA DAN TIDAKNYA PERBEDAAN ANTARA NAHDLATUL ULAMA, MUHAMMADIYAH DAN PEMERINTAH. DAN INFORMASI TERAKHIR (19 MARET 2002 KETIKA PERTEMUAN TOKOH HISAB RUKYAH DI JAKARTA), AKAN DIRENCANAKAN ADANYA MUKTAMAR BERSAMA ANTARA NAHDLATUL ULAMA DENGAN MUHAMMADIYAH DAN ORMAS-ORMAS YANG LAIN DALAM MEMBAHAS HISAB RUKYAH INI).

Bahkan fenomena ini menjadi unik, di mana walaupun dalam setiap kali sidang isbat Pemerintah, berbagai pihak menempatkan – menghadirkan utusan dalam sidang isbat tersebut namun tetap saja mengeluarkan ketetapan sendiri-sendiri. Sehingga apapun istilahnya manakala masih mengikhbarkan atau mengeluarkan putusan sendiri-sendiri, sulit kiranya menghindari adanya perbedaan.
Oleh karena itu, menyikapi fenomena ini kiranya yang perlu dikedepankan adalah sikap agree in disagreement (ittifaq fil ikhtilaf) sehingga muncul sikap tasamuh – toleransi. Karena perbedaan pemikiran tersebut sebagai dampak dari perbedaan pemahaman (interpretasi) dari nash.
Wa Allahu A’lam bishshowab.